ini mas ridwan kamil

ini mas ridwan kamil

mbaakk...numpang ngeyup dong...

mbaakk...numpang ngeyup dong...
hihi..ojo rebutan mas..

Kamis, 20 November 2008

Jelajah Arsitektur Bandung

“Wow!”, itulah kata yang pertama terlontar saat melihat keindahan bangunan – bangunan Bandung. Sebenarnya ini adalah kali kedua aku berkunjung ke Kota Kembang itu, tapi pesona Bandung tetap memukau siapa saja yang bertandang ke sana.


Banyak kenangan menarik saat perjalanan pertamaku ke Bandung tahun 2003 silam, namun petualanganku kali ini tetap memberi pengalaman meruang yang berbeda dari sebelumnya. Seperti puzzle, tiap langkah kaki menyusuri kota itu, makin lengkap visual puzzleku tentang Bandung.


Bandung memang terkenal sebagai kota Paris Van Java. Namun julukan itu tidak lahir dari kekuatan lokal pribumi. Sejarah kota Bandung berangkat dari pengukuhan kekuasaan kolonial Hindia – Belanda sejak akhir abad ke-19, ketika Marschaal Hermann Willem Daendels mempertautkan Jalan Raya Pos (Grote Post Weg, sekaran Jl. Asia Afrika) dengan Jalan Raya Anyer Panurukan pada tahun 1811. Pada saat itu juga ia menginstruksikan pembangunan kota Bandung dengan menancapkan tongkat di muka jalan Braga sekarang. Perkembangan ini didukung oleh pembangunan jalan kereta api Jakarta (Batavia) dengan Bandung tahun 1884. Haryoto Kunto (1986) melukiskan Bandung pada waktu Daendels ke Bandung masih dalam keadaan hutan dengan pemukiman yang sedikit penduduknya.


Itulah sedikit kilasan tentang Bandung pada awal perintisannya. Bandung kini telah mengalami banyak perubahan. Kini, kota tersebut telah penuh sesak oleh bangunan yang berjejalan. Mulai dari bangunan – bangunan sisa masa kolonial yang tetap eksis, sampai bangunan baru yang bergaya ndeso, bahkan kontemporer dan futuristik turut unjuk gigi dalam mewarnai tampilan kota. Tak arang suasana itu justru bertambah semrawut dengan penataan kota yang tak jelas orientasinya dan kendaraan yang semakin meningkat jumlahnya.


Bandung memang memiliki banyak nuansa. Salah satu yang masih terlihat adalah Bandung tetap menunjukkan romantismenya. Hal ini ditandai dengan masih kokohnya bangunan–bangunan bergaya Modern Internasionalisme, Art Nouveau hingga Art Dekoratif karya arsitek – arsitek paling berpengaruh tahun 1901 – 1942. Sederet nama – nama besar seperti Eduard Cuypers, A. F. Albers, Maclaine Pont, Wolf Schoemaker dan beberapa nama lainnya masih dapat dinikmati karyanya di kota Bandung.


Menurut penuturan Wiryomartono (1995), Albers merupakan arsitek modernis yang banyak terpengaruh oleh gerakan De Stijl (J.P. Oud dan T. Van Doesburg) dan Gerrit T. Rietveld. Ia bekerja di Bandung secara resmi tahun 1930 setelah lulus dari Akademi Seni Bangunan di Rotterdam tahun 1928. Internasionalisme Albers menampakkan diri secara mencolok pada karya – karyanya : Gedung Denis / Bank Pembangunan Daerah di Jalan Braga, Gedung Hotel Savoy Homann di Jalan Asia Afrika, dan 3 buah rumah tipe vila di Jalan Juanda (Dago). Perhatian yang dicurahkan oleh Albers dalam gerakan Internasionalisme ini menjadi fenomena bagi perkembangan rancang-bangun Indonesia karena ia termasuk orang yang melawan dua arus gerakan arsitektur pada saat itu : dialog dengan konteks regional dan Ekletisme arsitektur Eropa abad ke-19.


Lain halnya dengan Maclaine Pont, ia dikenal sebagai tokoh yang meletakkan dasar-dasar kepekaan arsitek pada sejarah lokal. Ia juga berhasil mengangkat tema tradisional ke dalam penjelajahan karya rancang bangun masa kini dengan kebutuhan baru. Kita dapat melihat karya masterpiece Pont dalam kompleks kampus ITB. Karya tersebut adalah Aula Barat dan Timur ITB, dimana bangunan tersebut memiliki karakteristik dalam inovasi teknik bangunan kayu dan pemahaman identitas tradisional Indonesia.


Tak jauh beda dengan Pont, Wolf Schoemaker pun tak pernah lelah mencari dan memperkaya desainnya dengan berbagai sumber, termasuk bangunan tradisional Indonesia dan Seni Dekoratif Frank Lloyd Wright awal 1920-an. Pengaruh F. L. Wright secara nyata tampak pada Hotel Preanger rancangannya yang “serupa tapi tak sama” dengan Hotel rancangan F. L. Wright di Tokyo (1915-1925). Karya Schoemaker yang tersebar di kota Bandung ini kemudian berhasil menjadi identitas tersendiri yang dikenal sebagai Art Decorative. Rentetan artefak Schoemaker yang lekat dengan Bandung itu antara lain Gedung Merdeka (utama), Gereja Bethel (Jl. Wastu Kencana), Gedung Rektorat ITB (Jl. Taman Sari), Vila Merah (Jl. Taman Sari), Gereja Petrus (Jl. Merdeka), Vila Isola (UPI Bandung) dan beberapa karya lainnya.


Perjalanan sejarah arsitektur kota Bandung ini secara implisit bisa dilihat dalam skala kecil dalam kompleks kampus ITB. Pertumbuhan kampus ini dengan jelas ditandai oleh beragamnya gaya arsitektur dalam bangunannya. Keberagaman ini menunjukkan banyaknya arsitek yang ingin berkomunikasi dari karya mereka. Tangan kreatif Pont dan Schoemaker adalah pendahulu yang memberi sentuhan berbeda dalam gedung Aula Timur dan Barat serta Gedung Rektorat. Achmad Noe’man kemudian muncul dengan karyanya Masjid Salman ITB pada tahun 1964. Nama lain kaliber Dunia, Baskoro Tedjo dengan karya bangunan putih yang sederhana dalam kompleks kampus ITB tersebut kemudian masuk dalam jajaran arsitek Indonesia yang membuktikan bahwa karya – karya mereka sanggup berdialog dengan apik dengan bangunan karya Pont dan Schoemaker sebelumnya.


Dari contoh kecil diatas, kembali kita melihat Kota Bandung yang kemudian berkembang seperti kota tempat para arsitek Indonesia menuangkan karya mereka sebagai bukti kepekaan dan respon terhadap pertumbuhan kota yang semakin dihantam oleh berbagai masalah. Isu – isu kota kemudian menjadi krusial untuk disikapi dan selalu menjadi bagian dari proses penciptaan suatu karya arsitektur.


Achmad Noe’man, pria paruh baya ini berhasil menuangkan gagasannya dalam bangunan Masjid Salman yang layak disebut sebagai tonggak arsitektur masjid paling penting dalam pembaruan bangunan masjid – masjid di Indonesia. Tonggak itu dapat dilihat pada upaya pembebasan diri dari tradisi dengan ditinggalkannya (hampir) secara total penggunaan idiom – idiom klasik seperti atap tumpang / tajuk pada masjid tradisional atau kubah yang sering dianggap sebagai idiom universal dari masjid. Maka sebutan masjid kontemporer, atau bisa juga modernistic/kiwari merujuk pada rancangan bangunan masjid yang berupaya membebaskan diri dari tradisi, atau paling tidak mere-interpretasi atas bahasa / ungkapan arsitektur yang telah ada/lazim berkembang sebelumnya.


Kemudian muncul nama Baskoro Tedjo yang berhasil menyikapi alam dengan bijak dalam karyanya Selasar Sunaryo Art Space. Ia mengolah desainnya dengan merespon perbedaan kontur alam menjadi nilai positif dalam permainan ketinggian lantai bangunannya. Disamping itu ia juga berusaha meminimalisir penebangan pohon yang sering menjadi ‘korban’ dalam penciptaan bangunan baru. Terlebih lagi site yang dipilih merupakan daerah perbukitan yang masih hijau. Tentunya ia tak ingin dituding menjadi arsitek yang merusak alam. Galeri yang terletak di Bukit Pakar Timur ini pun banyak menggunakan material alam seperti batu alam, bambu dan bata merah tanpa plester yang semakin menyelaraskan bangunan ini dengan alam sekitarnya.


Selasar Sunaryo Art Space lahir dengan nama “Selasar Seni Sunaryo” sejak tahun 1994. Bangunan tersebut berdiri diatas tanah seluas 5000 m2. Bentukan dasar dari bangunan ini terinspirasi dari “kuda lumping” yang merupakan salah satu peninggalan budaya Indonesia. Kata “Selasar” sendiri kemudian dipilih untuk merepresentasikan konsep ruang terbuka dimana jembatan merupakan salah satu ruang yang mampu menghubungkan satu ruang dengan ruang lainnya. Konsep paling utama dari “Selasar” dalam kasus ini adalah menghubungkan artworks dengan para apresiator atau penikmat seni yang pada saat bersamaan mampu menjembatani satu kebudayaan dengan yang lainnya. Selasar tidak hanya menjadi ruang yang terbuka untuk siapa saja yang ingin menikmati, menginvestigasi dan mempelajari tentang ‘cultural art works’ tapi juga menjadi tolak ukur dinamika perkembangan seni di Indonesia.


Hingga kemudian kami mampir ke sebuah biro Urban-e, rintisan Ridwan Kamil dan teman – teman sebagai arsitek yang memiliki rasa kepekaan terhadap kota. Ia merasa bahwa manusia adalah elemen paling penting dalam sebuah kota yang ‘paling tidak mendapat tempat’ untuk dimanusiakan. Ia mengkritisi karya – karya yang kebanyakan melupakan ruang interaksi antar manusia, padahal dalam kesehariannya masyarakat telah bertemu dengan hal – hal yang mampu membuat stress dan mereka butuh ruang yang dapat mengurangi ketegangan mereka dalam suatu ruang kota yang padat. Menurutnya, arsitek adalah seseorang yang tidak hanya sanggup membangun, namun juga mampu merespon keadaan lingkungan yang ada disekitarnya. Sehingga bangunan tidak hanya lahir untuk menambah deretan beban kota, tapi mampu menjadi pelingkup yang nyaman bagi manusia yang tinggal didalamnya.


Dari Utara hingga Selatan penjelajahan Bandung telah dijalani. Banyak pula tokoh – tokoh yang telah ditemui disana. Beruntung perjalananku ke Bandung kali ini memberi banyak pelajaran berharga untukku. Penjelajahan selama 3 hari ini memang tak rampung hanya dalam ulasan satu babak. Jika waktu memungkinkan, aku akan kembali menuangkan pengalamanku dalam beberapa bagian kemudian. Hingga gambaran terhadap Bandung bisa diperoleh secara lebih mendalam. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.


Terima kasih bagi siapa saja yang telah meluangkan waktu untuk membacanya…