ini mas ridwan kamil

ini mas ridwan kamil

mbaakk...numpang ngeyup dong...

mbaakk...numpang ngeyup dong...
hihi..ojo rebutan mas..

Kamis, 11 Desember 2008

Rumah eyang, persinggahan akhir pekan

Sungguh menyenangkan perjalanan Java trip yang baru saja kulalui. Hampir sebulan waktu kuhabiskan untuk mampir di Jakarta, Bandung dan Jogja. Akhirnya aku tiba di tempat persinggahan akhir pekan, rumah eyang !!

Aku tiba Jumat dini hari di Kediri. Genduk yang mbukain pintu pagar. Tak lama, pintu ruang tamu terbuka. Dari balik pintu seorang wanita rapuh tersenyum padaku. ”Ah.. Eyangku sayang...”, aku menghambur ke pelukannya.

Rumah ini tak jauh beda sejak terakhir kali aku kesini. Tampak begitu Indish dan asri. Halamannya sangat rapi dan bersih. Berbagai tanaman dan bunga pun begitu berseri dan terawat. Hanya tubuh eyang saja yang kian merenta. Namun ia masih bersemangat untuk nyirami tanduran di sore hari. ”Yo iki sing marai waras, nduk...”, katanya sambil senyum-senyum. Hihihi... Memang, hanya eyang seoranglah yang ngurusi tanaman segini banyak.


Tinggal disini emang hommy banget. Gak perlu repot – repot mikir mau makan apa. Soalnya genduk dah nyiapin menunya. Hehehe. Dah gitu makanannya ndeso tapi echo. Cucok banget sama lidahku yang dah bosen sama junk food. Hm... Apalagi menu – menunya tuh kesukaanku. Menu andalannya sambel tempe, ayam kecap, oseng terong, dan sebangsanya. Aku jadi menikmati setiap waktu makan. Hahaha...


Banyak hal yang ngangenin disini. Gak cuma makanannya aja yang bikin kangen, tapi diomel – omelin eyang juga ngangenin, lho. Hihihi... Abisnya, eyang kan sendirian, gak ada yang bisa diomelin selain genduk. Jadi, kalo ada cucu – cucunya datang, pasti kesempatan buat ngomel. Kan tanda sayang... Hahaha...

Rumah eyang tuh ok banget! Aku dah ngulik setiap detil rumahnya dan ternyata rumah ini termasuk kuno. Bergaya Indish, berlantai ubin dan temboknya masih pasangan 1 bata. Walhasil, tiap ruangannya terasa adem. Jadi betah nongkrong di rumah seharian. Tapi kalo bosen pun di bagian depan dan belakang ada halaman yang penuh dengan berbagai binatang piaraan dan tanaman yang bisa ngilangin BT. Mulai dari merpati sampai ikan semua dipelihara eyang. Dulu malah ada ayam kate, tapi dah mati. Tanaman pun mulai dari cocor bebek sampai aneka tanaman buah ada disana. Jadi, emang nyenengin banget kalo lagi musim mangga, kita makan mangga sampe mabok. Hahaha...


Tapi kegembiraan ini sangat singkat. Sabtu paginya aku bergegas ke Juanda. Soalnya jam 14.00 Batavia - flight number 7P314 - yang mau nganterin ke Makassar dah take off. Mau gimana lagi, aku harus melanjutkan hidupku dan melepaskan kegembiraan ini untuk sementara. Hiks...

I’m gonna be miss u Grandma...

Sabtu, 06 Desember 2008

hari sendu..

Terkadang ada sesuatu yang berada di luar kehendak manusia
Sering pula kita mengalami sesuatu yang diluar rencana kita.
Tak pelak hati kita pun disakiti oleh orang yang disayangi.
Di saat hati berkehendak, namun tak selamanya selalu kau gapai.
Saat hati dan pikiran dipenuhi hasrat akan ia...
Namun kau hanya bisa merelakannya pergi..
Demi dirinya..
Tak urung kau harus tersenyum dan menahan air mata yang terasa berat di pelupuk

Saat semua terasa tak mudah
Disanalah kita mengenal keikhlasan
Menerima apa yang telah menjadi rencanaNya.
Dan setingkat lagi aku belajar melakukan sesuatu demi kebahagiaan orang terkasih

Sungguh pun hati meronta menginginkan ia.
Dan meski hati berkecamuk melawan egoku
Kembali selaraskan aura dengan alur cerita alam

Aku memang bukan siapa-siapa..
Tapi semoga apa yang kulakukan bisa berarti baginya
Lalu setiap jengkal penderitaanku
Kan kembali cerahkan hatiku
dan pada saat tercerahkan
Aku kan bahagia karena tlah membuat ia bahagia

Rabu, 03 Desember 2008

Menelusuri Jalan Malioboro


Workshop Green Map bekerja sama dengan UTY
Sabtu, 29 November 2008

Dari sekian banyak kegiatan Peta Hijau Jogja, Sabtu (29/11/08) kemarin merupakan pertama kalinya kami mengadakan workshop bekerja sama dengan jurusan Arsitektur Universitas Tehnologi Yogyakarta (UTY). Berbeda dengan workshop Green Map Kampus UMY yang mengeksplorasi kampus mereka, kali ini kami memilih obyek amatan di penggal jalan Malioboro. Hal ini karena workshop yang berlangsung sehari ini dimaksudkan untuk meningkatkan rasa kepekaan mahasiswa dalam melihat suatu ruang kota. Maklum, Pak Punto dan Bu Tisna (staff pengajar) – yang mengundang kami – mengharapkan metode Green Map ini dapat membantu mahasiswa dalam merespon keadaan lingkungan sekitar dan melatih mereka untuk berkolaborasi dengan bidang ilmu lain.

* * *

Tepat jam 09.00 acara dimulai. Beberapa anak muda sudah berada dalam ruang yang akan digunakan untuk pemberian materi singkat tentang Green Map. Setelah pengantar singkat dari Bu Tisna, workshop pun dimulai dengan penjelasan singkat tentang metode Green Map yang dijelaskan oleh Cipi. Pak Punto kemudian melanjutkan dengan memberi gambaran singkat tentang kawasan Malioboro.

Setelah pengantar tersebut, sekitar jam 10.30 seluruh peserta berangkat menuju ke Malioboro. Kami berangkat beriringan sesuai dengan kelompok yang telah dibagi sebelumnya. Fasilitator yang kali ini – Cipi, Thomas, Sita dan Anang – juga turut mendampingi mereka.

Kami pun langsung menelusuri jalan Malioboro. Jalan ini memang merupakan cikal bakal kawasan perekonomian Yogyakarta. Kini Malioboro telah menjadi daerah perdagangan tertua yang mengalami banyak perubahan. Hal ini menjadikan jalan tersebut menarik untuk diulik lebih dalam.


Tak butuh waktu lama untuk menemukan hal – hal yang lebih dari sekedar Pasar Beringharjo dan Benteng Vredeburg yang telah akrab dengan masyarakat. Misalnya saja Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) yang dibangun sejak masa kolonial. Fisik bangunan bergaya Indish tersebut masih terawat. Namun yang tak banyak orang tahu, ternyata pelataran parkir gereja ini telah menjadi tempat parkir yang dikelola oleh masyarakat sekitar sejak 50 tahuun silam. Hanya pada hari Minggu saja pelataran itu digunakan oleh umat Kristiani yang hendak beribadah di gereja tersebut. Selain itu kami menemukan usaha kecil kerajinan yang menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan.

Setelah berkeliling sekitar 1 jam, kami mengkompilasi data temuan di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Sembari nge”charge” perut, diskusi kelompok pun terjadi. Setelah itu kami pun melanjutkan dengan presentasi antar kelompok dan plot ikon pada peta. Diluar dugaan, peserta begitu antusias saling mengomentari dan memberi saran. Proses diskusi pun terasa begitu hidup.

Walau lelah dan berpeluh, namun acara yang dipimpin oleh Cipi ini terbilang sukses. (Muji diri sendiri...Hahaha...) Terbukti dari respon positif para peserta yang aktif dalam proses pembuatan Peta Hijau kali ini. Wah, rasanya tidak sabar untuk ber-Peta Hijau lagi dengan teman – teman UTY.


Fasilitator Workshop Green Map bekerja sama dengan UTY:

1. Cipi

2. Thomas

3. Sita

4. Anang

Kamis, 20 November 2008

Jelajah Arsitektur Bandung

“Wow!”, itulah kata yang pertama terlontar saat melihat keindahan bangunan – bangunan Bandung. Sebenarnya ini adalah kali kedua aku berkunjung ke Kota Kembang itu, tapi pesona Bandung tetap memukau siapa saja yang bertandang ke sana.


Banyak kenangan menarik saat perjalanan pertamaku ke Bandung tahun 2003 silam, namun petualanganku kali ini tetap memberi pengalaman meruang yang berbeda dari sebelumnya. Seperti puzzle, tiap langkah kaki menyusuri kota itu, makin lengkap visual puzzleku tentang Bandung.


Bandung memang terkenal sebagai kota Paris Van Java. Namun julukan itu tidak lahir dari kekuatan lokal pribumi. Sejarah kota Bandung berangkat dari pengukuhan kekuasaan kolonial Hindia – Belanda sejak akhir abad ke-19, ketika Marschaal Hermann Willem Daendels mempertautkan Jalan Raya Pos (Grote Post Weg, sekaran Jl. Asia Afrika) dengan Jalan Raya Anyer Panurukan pada tahun 1811. Pada saat itu juga ia menginstruksikan pembangunan kota Bandung dengan menancapkan tongkat di muka jalan Braga sekarang. Perkembangan ini didukung oleh pembangunan jalan kereta api Jakarta (Batavia) dengan Bandung tahun 1884. Haryoto Kunto (1986) melukiskan Bandung pada waktu Daendels ke Bandung masih dalam keadaan hutan dengan pemukiman yang sedikit penduduknya.


Itulah sedikit kilasan tentang Bandung pada awal perintisannya. Bandung kini telah mengalami banyak perubahan. Kini, kota tersebut telah penuh sesak oleh bangunan yang berjejalan. Mulai dari bangunan – bangunan sisa masa kolonial yang tetap eksis, sampai bangunan baru yang bergaya ndeso, bahkan kontemporer dan futuristik turut unjuk gigi dalam mewarnai tampilan kota. Tak arang suasana itu justru bertambah semrawut dengan penataan kota yang tak jelas orientasinya dan kendaraan yang semakin meningkat jumlahnya.


Bandung memang memiliki banyak nuansa. Salah satu yang masih terlihat adalah Bandung tetap menunjukkan romantismenya. Hal ini ditandai dengan masih kokohnya bangunan–bangunan bergaya Modern Internasionalisme, Art Nouveau hingga Art Dekoratif karya arsitek – arsitek paling berpengaruh tahun 1901 – 1942. Sederet nama – nama besar seperti Eduard Cuypers, A. F. Albers, Maclaine Pont, Wolf Schoemaker dan beberapa nama lainnya masih dapat dinikmati karyanya di kota Bandung.


Menurut penuturan Wiryomartono (1995), Albers merupakan arsitek modernis yang banyak terpengaruh oleh gerakan De Stijl (J.P. Oud dan T. Van Doesburg) dan Gerrit T. Rietveld. Ia bekerja di Bandung secara resmi tahun 1930 setelah lulus dari Akademi Seni Bangunan di Rotterdam tahun 1928. Internasionalisme Albers menampakkan diri secara mencolok pada karya – karyanya : Gedung Denis / Bank Pembangunan Daerah di Jalan Braga, Gedung Hotel Savoy Homann di Jalan Asia Afrika, dan 3 buah rumah tipe vila di Jalan Juanda (Dago). Perhatian yang dicurahkan oleh Albers dalam gerakan Internasionalisme ini menjadi fenomena bagi perkembangan rancang-bangun Indonesia karena ia termasuk orang yang melawan dua arus gerakan arsitektur pada saat itu : dialog dengan konteks regional dan Ekletisme arsitektur Eropa abad ke-19.


Lain halnya dengan Maclaine Pont, ia dikenal sebagai tokoh yang meletakkan dasar-dasar kepekaan arsitek pada sejarah lokal. Ia juga berhasil mengangkat tema tradisional ke dalam penjelajahan karya rancang bangun masa kini dengan kebutuhan baru. Kita dapat melihat karya masterpiece Pont dalam kompleks kampus ITB. Karya tersebut adalah Aula Barat dan Timur ITB, dimana bangunan tersebut memiliki karakteristik dalam inovasi teknik bangunan kayu dan pemahaman identitas tradisional Indonesia.


Tak jauh beda dengan Pont, Wolf Schoemaker pun tak pernah lelah mencari dan memperkaya desainnya dengan berbagai sumber, termasuk bangunan tradisional Indonesia dan Seni Dekoratif Frank Lloyd Wright awal 1920-an. Pengaruh F. L. Wright secara nyata tampak pada Hotel Preanger rancangannya yang “serupa tapi tak sama” dengan Hotel rancangan F. L. Wright di Tokyo (1915-1925). Karya Schoemaker yang tersebar di kota Bandung ini kemudian berhasil menjadi identitas tersendiri yang dikenal sebagai Art Decorative. Rentetan artefak Schoemaker yang lekat dengan Bandung itu antara lain Gedung Merdeka (utama), Gereja Bethel (Jl. Wastu Kencana), Gedung Rektorat ITB (Jl. Taman Sari), Vila Merah (Jl. Taman Sari), Gereja Petrus (Jl. Merdeka), Vila Isola (UPI Bandung) dan beberapa karya lainnya.


Perjalanan sejarah arsitektur kota Bandung ini secara implisit bisa dilihat dalam skala kecil dalam kompleks kampus ITB. Pertumbuhan kampus ini dengan jelas ditandai oleh beragamnya gaya arsitektur dalam bangunannya. Keberagaman ini menunjukkan banyaknya arsitek yang ingin berkomunikasi dari karya mereka. Tangan kreatif Pont dan Schoemaker adalah pendahulu yang memberi sentuhan berbeda dalam gedung Aula Timur dan Barat serta Gedung Rektorat. Achmad Noe’man kemudian muncul dengan karyanya Masjid Salman ITB pada tahun 1964. Nama lain kaliber Dunia, Baskoro Tedjo dengan karya bangunan putih yang sederhana dalam kompleks kampus ITB tersebut kemudian masuk dalam jajaran arsitek Indonesia yang membuktikan bahwa karya – karya mereka sanggup berdialog dengan apik dengan bangunan karya Pont dan Schoemaker sebelumnya.


Dari contoh kecil diatas, kembali kita melihat Kota Bandung yang kemudian berkembang seperti kota tempat para arsitek Indonesia menuangkan karya mereka sebagai bukti kepekaan dan respon terhadap pertumbuhan kota yang semakin dihantam oleh berbagai masalah. Isu – isu kota kemudian menjadi krusial untuk disikapi dan selalu menjadi bagian dari proses penciptaan suatu karya arsitektur.


Achmad Noe’man, pria paruh baya ini berhasil menuangkan gagasannya dalam bangunan Masjid Salman yang layak disebut sebagai tonggak arsitektur masjid paling penting dalam pembaruan bangunan masjid – masjid di Indonesia. Tonggak itu dapat dilihat pada upaya pembebasan diri dari tradisi dengan ditinggalkannya (hampir) secara total penggunaan idiom – idiom klasik seperti atap tumpang / tajuk pada masjid tradisional atau kubah yang sering dianggap sebagai idiom universal dari masjid. Maka sebutan masjid kontemporer, atau bisa juga modernistic/kiwari merujuk pada rancangan bangunan masjid yang berupaya membebaskan diri dari tradisi, atau paling tidak mere-interpretasi atas bahasa / ungkapan arsitektur yang telah ada/lazim berkembang sebelumnya.


Kemudian muncul nama Baskoro Tedjo yang berhasil menyikapi alam dengan bijak dalam karyanya Selasar Sunaryo Art Space. Ia mengolah desainnya dengan merespon perbedaan kontur alam menjadi nilai positif dalam permainan ketinggian lantai bangunannya. Disamping itu ia juga berusaha meminimalisir penebangan pohon yang sering menjadi ‘korban’ dalam penciptaan bangunan baru. Terlebih lagi site yang dipilih merupakan daerah perbukitan yang masih hijau. Tentunya ia tak ingin dituding menjadi arsitek yang merusak alam. Galeri yang terletak di Bukit Pakar Timur ini pun banyak menggunakan material alam seperti batu alam, bambu dan bata merah tanpa plester yang semakin menyelaraskan bangunan ini dengan alam sekitarnya.


Selasar Sunaryo Art Space lahir dengan nama “Selasar Seni Sunaryo” sejak tahun 1994. Bangunan tersebut berdiri diatas tanah seluas 5000 m2. Bentukan dasar dari bangunan ini terinspirasi dari “kuda lumping” yang merupakan salah satu peninggalan budaya Indonesia. Kata “Selasar” sendiri kemudian dipilih untuk merepresentasikan konsep ruang terbuka dimana jembatan merupakan salah satu ruang yang mampu menghubungkan satu ruang dengan ruang lainnya. Konsep paling utama dari “Selasar” dalam kasus ini adalah menghubungkan artworks dengan para apresiator atau penikmat seni yang pada saat bersamaan mampu menjembatani satu kebudayaan dengan yang lainnya. Selasar tidak hanya menjadi ruang yang terbuka untuk siapa saja yang ingin menikmati, menginvestigasi dan mempelajari tentang ‘cultural art works’ tapi juga menjadi tolak ukur dinamika perkembangan seni di Indonesia.


Hingga kemudian kami mampir ke sebuah biro Urban-e, rintisan Ridwan Kamil dan teman – teman sebagai arsitek yang memiliki rasa kepekaan terhadap kota. Ia merasa bahwa manusia adalah elemen paling penting dalam sebuah kota yang ‘paling tidak mendapat tempat’ untuk dimanusiakan. Ia mengkritisi karya – karya yang kebanyakan melupakan ruang interaksi antar manusia, padahal dalam kesehariannya masyarakat telah bertemu dengan hal – hal yang mampu membuat stress dan mereka butuh ruang yang dapat mengurangi ketegangan mereka dalam suatu ruang kota yang padat. Menurutnya, arsitek adalah seseorang yang tidak hanya sanggup membangun, namun juga mampu merespon keadaan lingkungan yang ada disekitarnya. Sehingga bangunan tidak hanya lahir untuk menambah deretan beban kota, tapi mampu menjadi pelingkup yang nyaman bagi manusia yang tinggal didalamnya.


Dari Utara hingga Selatan penjelajahan Bandung telah dijalani. Banyak pula tokoh – tokoh yang telah ditemui disana. Beruntung perjalananku ke Bandung kali ini memberi banyak pelajaran berharga untukku. Penjelajahan selama 3 hari ini memang tak rampung hanya dalam ulasan satu babak. Jika waktu memungkinkan, aku akan kembali menuangkan pengalamanku dalam beberapa bagian kemudian. Hingga gambaran terhadap Bandung bisa diperoleh secara lebih mendalam. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.


Terima kasih bagi siapa saja yang telah meluangkan waktu untuk membacanya…